Rabu, 05 Juni 2013

Komentar Sri Warso Wahono, Pemerhati Seni



Nunung Bakhtiar




Red Lily, acrilic on canvas




Sebuah Pengantar Pameran
Oleh: Sri Warso Wahono *


NUNUNG Bakhtiar mulai berpameran lukisan pada tahun 1991. Sejak dari pamerannya tersebut, masyarakat dimaklumatkan mengenai ragam dan gejala seni baru ciptaan Nunung Bakhtiar, utamanya masyarakat di Surabaya. Ini sekaligus merupakan usaha positif dan eksistensial seorang seniman di tengah publik. Yang mau tidak mau, langsung atau tidak, merupakan responsibilitas masyarakat kesenian ikhwal kesenilukisan khas Nunung Bakhtiar.
Hal demikian bukan berarti dari tahun 1991 Nunung baru mulai melukis. Siapa tahu, bisa jadi jauh-jauh sebelumnya. Sesuai dengan penuturannya pada saat kami berdialog di Balai Budaya Jakarta beberapa waktu yang lalu, sejak kecil Nunung Bakhtiar sudah akrab dengan seni lukis. Ayahnya suka melukis di waktu senggang. Mertuanya, Wiwiek Hidayat, adalah pelukis terkenal pada zamannya, di kota Surabaya.
Kendati sangat dekat dengan kedua tokoh ini, bimbingan melukis bukanlah semata-mata dari keduanya. Nunung Bakhtiar acap menyatu dengan kegiatan kesenian di Surabaya. Berkumpul, diskusi, dan terlebih berpameran dengan sesama pelukis di Surabaya.
Hampir di tiap-tiap pergantian tahun 90-an itu, dia berpameran ramai-ramai. Sampai pada suatu keyakinannya bahwa pameran tunggal merupakan hal yang pasti dan prinsip. Nampak dari semangat inilah yang menuntunnya maju untuk pameran tunggal kali ini, pada tahun 2000.
Mencermati reproduksi lukisan-lukisannya yang sampai ke tangan saya, bisa dikategorikan Nunung Bakhtiar tidak terikat pada satu tema. Dia senang menjelajah, melukis berbagai perwujudan. Bunga-bunga, ikan, manusia, pemandangan alam, dan lain-lain. Dengan kata lain, Nunung Bakhtiar melukis bukan berangkat dari naluri dan renungannya. Dia melukis karena aspek-aspek inpulsif di luar dirinya.
Objek-objek lukisannya lahir setelah pelukis ini merasa simpati, dan untuk seterusnya empati terhadap berbagai perwujudan yang dinilainya punya kecenderungan estetik. Melalui sapuan kuwas dan torehan pisau palet, berbagai bentuk objek yang dilihat terlukis dengan mengandalkan perpaduan warna-warni yang cerah.
Berbagai objek seperti misalnya Bunga Sepatu (1999), Vas Bunga Merah (1997), Memadu Kasih (1994), adalah tiga lukisannya yang sempat dirampungkan dalam kesan harmonis dan berkarakter.
Juga dapat kita lihat pada lukisan Pemandangan (1993), Sunset di Sumenep (2000), Pegunungan (1993). Cara mengolah warna dengan terkadang mengenduskannya ke kanvas secara langsung, memberi efek keliaran, yang ujung-ujungnya terkesan dinamik dan ekspresif. Spontanitas terlihat dan memberi efek artistik.
Dilihat dari pemahamannya tentang khasanah pengutaraan objek, Nunung Bakhtiar adalah seorang realis. Dia mempunyai semangat dan greget mencipta secara spontan dan begitu energik. Dia tidak ragu memadukan warna dalam karakter-karakter yang amat berbeda. Bahkan berani melakukan tumburan-tumburan yang berciri konstrastik. Sehingga bentuk yang terlihat sebagai karya, beberapa di antaranya amat merangsang optis.
Tentu patut disyukuri, dalam suasana saat ini, ketika banyak orang bertumburan kepentingan yang menjurus pada degradasi moral, Nunung Bakhtiar justru menghaluskan perasaan dan perangai orang-orang dengan berpameran lukisan. Lebih dari itu adalah, Nunung telah menentukan pilihan piktorialnya. Sehingga, ketika langkahnya nanti tidak terhenti dan terus eksis di keseniannya, ia dapat dipastikan menorehkan sebuah spesifikasi yang dapat menambah kekayaan khasanah seni lukis di Indonesia.

·         Penulis adalah Pemerhati Seni dari Jakarta. 


Selasa, 04 Juni 2013

Ulasan Henri Nurcahyo




Nunung Bakhtiar









Bahasa Bunga Nunung Bakhtiar
Oleh: Henri Nurcahyo *
  

MESKI sering muncul dalam pameran ber­sama pelukis wanita, Nunung Bakh­tiar bukan tergolong sunday painter. Ia la­hir dari keluarga seniman. Kakeknya pe­ngukir, ayahnya pelukis, adiknya se­ko­lah di ISI, suaminya kolektor lu­kisan, mertuanya pun pelukis. Bahkan sa­lah satu anaknya saat ini juga melukis.
Niat menjadi pelukis semakin me­ngen­tal ketika rumah mer­tuanya saat itu menjadi tempat berkumpul ka­lang­an pelukis Surabaya. "Saya menemukan dunia saya di sini," ujar ibu dua anak yang pernah menjadi pe­nari, dan ingin terkenal sebagai pe­nari itu.
Sekarang dia berpuas diri meng­gerakkan tangannya di atas kan­vas. Dia seolah merasa menari ketika me­norehkan kuas, menggeserkan pisau pa­let, bahkan sering kali ujung jarinya lang­sung digosokkan ke kanvas.
Memang banyak bunga yang muncul se­bagai obyek lukisannya. Hal ini bu­kan semata-mata karena dia wanita, toh ba­nyak juga obyek lain seperti ikan-ikan, kursi, landscape, pedati, gunung me­letus, profil wajah, dan suasana pa­sar serta lukisan nonfiguratif.
Bunga yang dilukisnya pun tidak selalu tampil in­dah. Ada bunga yang kusam, ada ju­ga yang layu, yang tampak kusut, ter­ma­suk bunga-bunga yang diberi warna bu­kan menurut aslinya.
Ada dorongan in­tuisi yang muncul dari dalam dirinya, ketika tangannya melukis bunga se­hing­ga menjadi bunga yang tidak selalu se­indah warna atau kondisi aslinya. Tidak heran kalau di antara sekumpulan bu­nga matahari yang kuning itu, tahu-ta­hu ada yang berwarna merah. Atau se­kumpulan bunga sepatu yang merah, ada satu yang kuning.
            Karena bunga yang dilukis menjadi lain dari biasanya, ada seorang kolektor lu­kisan yang mengaku baru kali ini mem­beli lukisan bunga, ya lukisan bu­nga Nunung itu. Padahal ia mengaku tak suka bunga. Juga seorang perwira ting­gi kepolisian, mengaku tak senang bu­nga, tapi langsung tertarik membeli lu­kisan bunga Nunung. Bahkan ketika lukisan itu diminta koleganya, perwira tersebut langsung membeli bunga lain tanpa dia lihat lagi wujudnya. Po­kok­nya bunga matahari karya Nunung, katanya.
Kedekatan Nunung dengan dunia bu­nga, memang bukan mengada-ada. Ka­re­na dia seorang pecinta tanaman, dan per­nah juga bergerak di bidang usaha in­te­rior dan eksterior, yang juga berhu­bungan dengan tanaman dan bunga.
Salah satu lukisan bunganya, ada yang ma­lah mengesankan sebuah kemarahan yang terpendam, jauh dari kesan kenes. Lukisan sepasang ikan yang diberi ju­dul Berpadu Kasih, misalnya, malah me­nunjukkan ikan yang garang.
 Lewat seni lukis, nampaknya Nunung me­ne­mukan sebuah jalan untuk me­la­kukan kontemplasi dan perenungan ter­ha­dap kondisi sosial dan berbagai per­so­alan kehidupan. Awal 1999, sebelum Pemilu, Nunung tergerak membuat lu­kis­an besar yang hanya berisi sebuah kur­si kosong. Dia beri judul Kursi 2000. Maksudnya sederhana, bahwa so­sok yang bakal duduk di kursi itu me­mang belum diketahui, entah siapa yang bakal memimpin negeri ini.
Tan­pa disadarinya, latar belakang kursi itu ter­belah menjadi empat warna dalam komposisi yang tak seimbang. Bagian terbesar dan berada di atas justru warna hijau dan merah, sementara warna ku­ning hanya minoritas di pojok kiri bawah, dan warna biru ada di po­jok kanan bawah. Lantas, orang me­ner­je­mah­kannya sebagai "Lukisan Politis". (Ternyata pemenang pemilu Gus Dur dari PKB/hijau sebagai Presiden, Megawati dari PDI-P/merah sebagai Wapres, Akbar Tanjung dari Golkar/kuning sebagai Ketua DPR-RI, dan Amin Rais dari PAN/biru sebagai Ketua MPR).
Karyanya yang lain sebuah lukisan ke­cil yang menggambarkan ikan-ikan ha­sil tangkapan –nampak tak berdaya di ruang sempit, seperti ketakberdayaan ne­layan yang menangkapnya. Dan ikan-ikan itu dibeli dengan harga sa­ngat murah untuk diekspor ke Eropa. "Menjaring Rejeki" bagi eksportir itu, adalah sebuah gambaran nasib nelayan yang terkungkung dalam kotak sempit se­perti dalam lukisan ikan itu.
Menyimak perjalanan lukisan Nunung se­jak awal 1990-an hingga sekarang, ada kecenderungan lukisan yang dibuat pa­da awal-awalnya dulu, memang nam­pak kusam, warna-warnanya cen­derung redup. Kelihatan sekali ada be­ban yang masih mengganjalnya. Nu­nung masih menghadapi kendala pri­ba­di, masih ada yang mengganggu emo­si­nya dalam pergaulan di lingkungannya. Dia belum bisa lepas sama sekali. Na­mun dalam masa-masa "suram" itu, ter­nya­ta sesekali justru lahir lukisan yang mur­ni intuitif. Lukisan yang sepertinya menerjemahkan kegalauan hatinya.
Belakangan, pada lukisan-lukisan ter­ak­hirnya, kecenderungan itu bergeser men­jadi nampak meriah. Warna-warna kuning menguasai kesan pertama, di­sam­ping merah-merah yang menyala. Meski sebetulnya, kuning itu ternyata me­mang menjadi warna favoritnya. Dan nampaknya, kemeriahan itu mung­kin ada hubungannya dengan suasana ba­tin dirinya yang mulai nampak enjoy menikmati posisinya sebagai pelukis. Sebagai seorang ibu, Nunung sudah me­rasa ringan ketika kedua anaknya te­lah mapan.
Meski begitu, bukan berarti karya-kar­yanya menjadi "tak bicara apa-apa". Lukisan yang dibuatnya dua tiga tahun be­lakangan ini, justru lebih menuju ke arah yang lebih terasa puitis. Memang se­pintas tampak cerah ceria, namun ada se­suatu yang tersimpan di dalamnya. Menurut pengakuannya, dalam lima ta­hun belakangan ini, Nunung suka me­lu­kis di tengah malam. Siapa tahu da­lam keheningan malam itulah naluri dan intuisinya lebih tersalurkan ke da­lam lukisan, dan bukan sekadar bunga-bu­nga yang menyala warnanya.


·         Penulis adalah pemerhati kesenian/June-2000

Senin, 14 Januari 2013

Konsep Berkarya


Nunung Bakhtiar



Lahir di Malang, 14 Juni 1952

Konsep Berkarya:

Menganut konsep counture destructure, perpaduan antara yang berstruktur dan yang tak berstruktur, tidak terlalu memen tingkan bentuk, menyukai komposisi warna spontan.
Melukis menjadi katarsis dari kegelisahan jiwa, ekspresi pikiran dan batin yang dapat melatih kepekaan diri pada lingkungan sosial.
Belajar secara otodidak melalui talenta yang ada pada diri, membaca buku seni rupa maupun sejarah seni lukis. Banyak berdiskusi dengan para seniman, dan mengunjungi museum seni lukis di dalam dan luar negeri.
Melukis sejak di bangku sekolah (SMA 9), dan mulai serius ketika pindah ke Bali pada 1983. Baru pada 1991 memberanikan diri tampil dalam pameran. Talentanya terbangun dari atmosfier di sekitarnya. Ayahnya melukis. Mertuanya, Wiwiek Hidayat, bahkan pelukis andalan Surabaya. Suaminya kolektor dan novelis yang sekali-kali juga melukis. Anak-anaknya pun melukis.

Pengalaman Pameran:
1990-2013       Kurang lebih 100 kali pameran bersama di Surabaya, Malang, Batu, Jakar­ta, 
                        Bandung, Yogyakarta, Palembang, dll
1994                Pameran di Kent Arthur Gallery, Singapore
1994                Study banding ke museum-museum di Eropa, melukis bersama di
                        France dan Venesia
1995                Pameran di Toronto, Canada
1998                Pameran bersama Diany Sinung (Bali) di Netherland
2000                Pameran di Badnauheim, Germany
2000                Pameran Tunggal di Hotel Novotel Surabaya
2003                        Pameran tunggal di Den Haag dan Van Gogh Centrum, Netherland
2004                        Pameran senirupa bersama di Puring Arts Studio, Surabaya
2005                        Pameran Tunggal di Ngaruawahia, New Zealand
2006                        Pameran Bersama di Jakarta
2007                        Pameran Tunggal di Surabaya
2011                Pameran Tunggal di Hotel Mercure Surabaya
2013                Pameran Tunggal di DKS Surabaya