Nunung Bakhtiar
Red Lily, acrilic on canvas |
Sebuah
Pengantar Pameran
Oleh:
Sri Warso Wahono *
NUNUNG Bakhtiar mulai berpameran
lukisan pada tahun 1991. Sejak dari pamerannya tersebut, masyarakat dimaklumatkan
mengenai ragam dan gejala seni baru ciptaan Nunung Bakhtiar, utamanya
masyarakat di Surabaya. Ini sekaligus merupakan usaha positif dan eksistensial
seorang seniman di tengah publik. Yang mau tidak mau, langsung atau tidak,
merupakan responsibilitas masyarakat kesenian ikhwal kesenilukisan khas Nunung
Bakhtiar.
Hal demikian bukan berarti dari tahun 1991 Nunung baru
mulai melukis. Siapa tahu, bisa jadi jauh-jauh sebelumnya. Sesuai dengan
penuturannya pada saat kami berdialog di Balai Budaya Jakarta beberapa waktu
yang lalu, sejak kecil Nunung Bakhtiar sudah akrab dengan seni lukis. Ayahnya
suka melukis di waktu senggang. Mertuanya, Wiwiek Hidayat, adalah pelukis
terkenal pada zamannya, di kota Surabaya.
Kendati sangat dekat dengan kedua tokoh ini, bimbingan
melukis bukanlah semata-mata dari keduanya. Nunung Bakhtiar acap menyatu dengan
kegiatan kesenian di Surabaya. Berkumpul, diskusi, dan terlebih berpameran
dengan sesama pelukis di Surabaya.
Hampir di tiap-tiap pergantian tahun 90-an itu, dia
berpameran ramai-ramai. Sampai pada suatu keyakinannya bahwa pameran tunggal
merupakan hal yang pasti dan prinsip. Nampak dari semangat inilah yang
menuntunnya maju untuk pameran tunggal kali ini, pada tahun 2000.
Mencermati reproduksi lukisan-lukisannya yang sampai ke
tangan saya, bisa dikategorikan Nunung Bakhtiar tidak terikat pada satu tema.
Dia senang menjelajah, melukis berbagai perwujudan. Bunga-bunga, ikan, manusia,
pemandangan alam, dan lain-lain. Dengan kata lain, Nunung Bakhtiar melukis
bukan berangkat dari naluri dan renungannya. Dia melukis karena aspek-aspek
inpulsif di luar dirinya.
Objek-objek lukisannya lahir setelah pelukis ini merasa
simpati, dan untuk seterusnya empati terhadap berbagai perwujudan yang
dinilainya punya kecenderungan estetik. Melalui sapuan kuwas dan torehan pisau
palet, berbagai bentuk objek yang dilihat terlukis dengan mengandalkan
perpaduan warna-warni yang cerah.
Berbagai objek seperti misalnya Bunga Sepatu (1999), Vas
Bunga Merah (1997), Memadu Kasih
(1994), adalah tiga lukisannya yang sempat dirampungkan dalam kesan harmonis
dan berkarakter.
Juga dapat kita lihat pada lukisan Pemandangan (1993), Sunset di
Sumenep (2000), Pegunungan
(1993). Cara mengolah warna dengan terkadang mengenduskannya ke kanvas secara
langsung, memberi efek keliaran, yang ujung-ujungnya terkesan dinamik dan
ekspresif. Spontanitas terlihat dan memberi efek artistik.
Dilihat dari pemahamannya tentang khasanah pengutaraan
objek, Nunung Bakhtiar adalah seorang realis. Dia mempunyai semangat dan greget
mencipta secara spontan dan begitu energik. Dia tidak ragu memadukan warna
dalam karakter-karakter yang amat berbeda. Bahkan berani melakukan tumburan-tumburan
yang berciri konstrastik. Sehingga bentuk yang terlihat sebagai karya, beberapa
di antaranya amat merangsang optis.
Tentu patut disyukuri, dalam suasana saat ini, ketika
banyak orang bertumburan kepentingan yang menjurus pada degradasi moral, Nunung
Bakhtiar justru menghaluskan perasaan dan perangai orang-orang dengan
berpameran lukisan. Lebih dari itu adalah, Nunung telah menentukan pilihan
piktorialnya. Sehingga, ketika langkahnya nanti tidak terhenti dan terus eksis
di keseniannya, ia dapat dipastikan menorehkan sebuah spesifikasi yang dapat
menambah kekayaan khasanah seni lukis di Indonesia.
·
Penulis adalah Pemerhati
Seni dari Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar