Nunung Bakhtiar
Bahasa Bunga
Nunung Bakhtiar
Oleh:
Henri Nurcahyo *
MESKI sering muncul
dalam pameran bersama pelukis wanita, Nunung Bakhtiar bukan tergolong sunday painter. Ia lahir dari keluarga
seniman. Kakeknya pengukir, ayahnya pelukis, adiknya sekolah di ISI,
suaminya kolektor lukisan, mertuanya pun
pelukis. Bahkan salah satu anaknya saat ini juga melukis.
Niat menjadi pelukis semakin mengental ketika
rumah mertuanya saat
itu menjadi tempat berkumpul kalangan pelukis Surabaya. "Saya
menemukan dunia saya di sini," ujar ibu dua anak yang pernah menjadi penari, dan ingin terkenal sebagai penari itu.
Sekarang dia berpuas diri menggerakkan tangannya di
atas kanvas. Dia seolah merasa menari ketika menorehkan kuas, menggeserkan
pisau palet, bahkan sering kali ujung jarinya langsung digosokkan ke kanvas.
Memang banyak
bunga yang muncul sebagai obyek lukisannya. Hal ini bukan semata-mata karena
dia wanita, toh banyak juga obyek lain seperti ikan-ikan, kursi, landscape, pedati, gunung meletus,
profil wajah, dan suasana pasar serta lukisan nonfiguratif.
Bunga yang dilukisnya pun tidak selalu tampil indah.
Ada bunga yang kusam, ada juga yang layu, yang tampak kusut, termasuk
bunga-bunga yang diberi warna bukan menurut aslinya.
Ada dorongan intuisi yang muncul dari dalam
dirinya, ketika tangannya melukis bunga sehingga menjadi bunga yang tidak
selalu seindah warna atau kondisi aslinya. Tidak heran kalau di
antara sekumpulan bunga matahari
yang kuning itu, tahu-tahu ada yang berwarna merah. Atau sekumpulan bunga sepatu
yang merah, ada satu yang kuning.
Karena bunga yang dilukis menjadi lain dari
biasanya, ada seorang kolektor lukisan yang mengaku baru kali ini membeli
lukisan bunga, ya lukisan bunga Nunung itu. Padahal ia mengaku tak suka bunga.
Juga seorang perwira tinggi kepolisian, mengaku tak senang bunga, tapi
langsung tertarik membeli lukisan bunga Nunung. Bahkan ketika lukisan itu
diminta koleganya, perwira tersebut langsung membeli bunga lain tanpa dia lihat
lagi wujudnya. Pokoknya bunga matahari karya Nunung,
katanya.
Kedekatan Nunung dengan dunia bunga, memang bukan
mengada-ada. Karena dia seorang pecinta tanaman, dan pernah juga bergerak di bidang usaha interior dan
eksterior, yang juga
berhubungan dengan
tanaman dan bunga.
Salah satu lukisan bunganya, ada yang malah
mengesankan sebuah kemarahan yang terpendam, jauh dari kesan kenes. Lukisan
sepasang ikan yang diberi judul Berpadu
Kasih, misalnya, malah menunjukkan ikan yang garang.
Lewat seni
lukis, nampaknya Nunung menemukan sebuah jalan untuk melakukan kontemplasi
dan perenungan terhadap kondisi sosial dan berbagai persoalan kehidupan.
Awal 1999, sebelum Pemilu, Nunung tergerak membuat lukisan besar yang hanya
berisi sebuah kursi kosong. Dia beri judul Kursi
2000. Maksudnya sederhana, bahwa sosok yang bakal duduk di kursi itu memang
belum diketahui, entah siapa yang bakal memimpin negeri ini.
Tanpa disadarinya, latar belakang kursi itu terbelah
menjadi empat warna dalam komposisi yang tak seimbang. Bagian terbesar dan
berada di atas justru warna hijau dan merah, sementara warna kuning hanya minoritas di pojok
kiri bawah, dan warna biru ada di pojok kanan bawah. Lantas, orang menerjemahkannya sebagai
"Lukisan Politis". (Ternyata pemenang pemilu Gus Dur dari PKB/hijau sebagai Presiden, Megawati
dari PDI-P/merah sebagai Wapres, Akbar Tanjung dari Golkar/kuning sebagai Ketua
DPR-RI, dan Amin Rais dari PAN/biru sebagai Ketua MPR).
Karyanya yang lain sebuah lukisan kecil yang
menggambarkan ikan-ikan hasil tangkapan –nampak
tak berdaya di ruang sempit, seperti ketakberdayaan nelayan yang menangkapnya. Dan ikan-ikan itu dibeli dengan harga sangat
murah untuk diekspor ke Eropa. "Menjaring
Rejeki" bagi eksportir itu, adalah sebuah gambaran nasib nelayan yang
terkungkung dalam kotak sempit seperti dalam
lukisan ikan itu.
Menyimak perjalanan lukisan Nunung sejak awal
1990-an hingga sekarang, ada kecenderungan lukisan yang dibuat pada
awal-awalnya dulu, memang nampak kusam, warna-warnanya cenderung redup.
Kelihatan sekali ada beban yang masih mengganjalnya. Nunung masih menghadapi
kendala pribadi, masih ada yang mengganggu emosinya dalam pergaulan di
lingkungannya. Dia belum bisa lepas sama sekali. Namun dalam masa-masa
"suram" itu, ternyata sesekali justru lahir lukisan yang murni
intuitif. Lukisan yang sepertinya menerjemahkan kegalauan hatinya.
Belakangan, pada lukisan-lukisan terakhirnya,
kecenderungan itu bergeser menjadi nampak meriah. Warna-warna kuning menguasai
kesan pertama, disamping merah-merah yang menyala. Meski sebetulnya, kuning
itu ternyata memang menjadi warna favoritnya. Dan nampaknya, kemeriahan itu
mungkin ada hubungannya dengan suasana batin dirinya yang mulai nampak enjoy menikmati posisinya sebagai
pelukis. Sebagai seorang ibu, Nunung sudah merasa ringan ketika kedua anaknya telah mapan.
Meski begitu, bukan berarti karya-karyanya menjadi
"tak bicara apa-apa". Lukisan yang dibuatnya dua tiga tahun belakangan
ini, justru lebih menuju ke arah yang lebih terasa puitis. Memang sepintas
tampak cerah ceria, namun ada sesuatu yang tersimpan di dalamnya. Menurut
pengakuannya, dalam lima tahun belakangan ini, Nunung suka melukis di tengah
malam. Siapa tahu dalam keheningan malam itulah naluri dan intuisinya lebih
tersalurkan ke dalam lukisan, dan bukan sekadar bunga-bunga yang menyala
warnanya.
·
Penulis adalah pemerhati kesenian/June-2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar