Selasa, 04 Juni 2013

Ulasan Henri Nurcahyo




Nunung Bakhtiar









Bahasa Bunga Nunung Bakhtiar
Oleh: Henri Nurcahyo *
  

MESKI sering muncul dalam pameran ber­sama pelukis wanita, Nunung Bakh­tiar bukan tergolong sunday painter. Ia la­hir dari keluarga seniman. Kakeknya pe­ngukir, ayahnya pelukis, adiknya se­ko­lah di ISI, suaminya kolektor lu­kisan, mertuanya pun pelukis. Bahkan sa­lah satu anaknya saat ini juga melukis.
Niat menjadi pelukis semakin me­ngen­tal ketika rumah mer­tuanya saat itu menjadi tempat berkumpul ka­lang­an pelukis Surabaya. "Saya menemukan dunia saya di sini," ujar ibu dua anak yang pernah menjadi pe­nari, dan ingin terkenal sebagai pe­nari itu.
Sekarang dia berpuas diri meng­gerakkan tangannya di atas kan­vas. Dia seolah merasa menari ketika me­norehkan kuas, menggeserkan pisau pa­let, bahkan sering kali ujung jarinya lang­sung digosokkan ke kanvas.
Memang banyak bunga yang muncul se­bagai obyek lukisannya. Hal ini bu­kan semata-mata karena dia wanita, toh ba­nyak juga obyek lain seperti ikan-ikan, kursi, landscape, pedati, gunung me­letus, profil wajah, dan suasana pa­sar serta lukisan nonfiguratif.
Bunga yang dilukisnya pun tidak selalu tampil in­dah. Ada bunga yang kusam, ada ju­ga yang layu, yang tampak kusut, ter­ma­suk bunga-bunga yang diberi warna bu­kan menurut aslinya.
Ada dorongan in­tuisi yang muncul dari dalam dirinya, ketika tangannya melukis bunga se­hing­ga menjadi bunga yang tidak selalu se­indah warna atau kondisi aslinya. Tidak heran kalau di antara sekumpulan bu­nga matahari yang kuning itu, tahu-ta­hu ada yang berwarna merah. Atau se­kumpulan bunga sepatu yang merah, ada satu yang kuning.
            Karena bunga yang dilukis menjadi lain dari biasanya, ada seorang kolektor lu­kisan yang mengaku baru kali ini mem­beli lukisan bunga, ya lukisan bu­nga Nunung itu. Padahal ia mengaku tak suka bunga. Juga seorang perwira ting­gi kepolisian, mengaku tak senang bu­nga, tapi langsung tertarik membeli lu­kisan bunga Nunung. Bahkan ketika lukisan itu diminta koleganya, perwira tersebut langsung membeli bunga lain tanpa dia lihat lagi wujudnya. Po­kok­nya bunga matahari karya Nunung, katanya.
Kedekatan Nunung dengan dunia bu­nga, memang bukan mengada-ada. Ka­re­na dia seorang pecinta tanaman, dan per­nah juga bergerak di bidang usaha in­te­rior dan eksterior, yang juga berhu­bungan dengan tanaman dan bunga.
Salah satu lukisan bunganya, ada yang ma­lah mengesankan sebuah kemarahan yang terpendam, jauh dari kesan kenes. Lukisan sepasang ikan yang diberi ju­dul Berpadu Kasih, misalnya, malah me­nunjukkan ikan yang garang.
 Lewat seni lukis, nampaknya Nunung me­ne­mukan sebuah jalan untuk me­la­kukan kontemplasi dan perenungan ter­ha­dap kondisi sosial dan berbagai per­so­alan kehidupan. Awal 1999, sebelum Pemilu, Nunung tergerak membuat lu­kis­an besar yang hanya berisi sebuah kur­si kosong. Dia beri judul Kursi 2000. Maksudnya sederhana, bahwa so­sok yang bakal duduk di kursi itu me­mang belum diketahui, entah siapa yang bakal memimpin negeri ini.
Tan­pa disadarinya, latar belakang kursi itu ter­belah menjadi empat warna dalam komposisi yang tak seimbang. Bagian terbesar dan berada di atas justru warna hijau dan merah, sementara warna ku­ning hanya minoritas di pojok kiri bawah, dan warna biru ada di po­jok kanan bawah. Lantas, orang me­ner­je­mah­kannya sebagai "Lukisan Politis". (Ternyata pemenang pemilu Gus Dur dari PKB/hijau sebagai Presiden, Megawati dari PDI-P/merah sebagai Wapres, Akbar Tanjung dari Golkar/kuning sebagai Ketua DPR-RI, dan Amin Rais dari PAN/biru sebagai Ketua MPR).
Karyanya yang lain sebuah lukisan ke­cil yang menggambarkan ikan-ikan ha­sil tangkapan –nampak tak berdaya di ruang sempit, seperti ketakberdayaan ne­layan yang menangkapnya. Dan ikan-ikan itu dibeli dengan harga sa­ngat murah untuk diekspor ke Eropa. "Menjaring Rejeki" bagi eksportir itu, adalah sebuah gambaran nasib nelayan yang terkungkung dalam kotak sempit se­perti dalam lukisan ikan itu.
Menyimak perjalanan lukisan Nunung se­jak awal 1990-an hingga sekarang, ada kecenderungan lukisan yang dibuat pa­da awal-awalnya dulu, memang nam­pak kusam, warna-warnanya cen­derung redup. Kelihatan sekali ada be­ban yang masih mengganjalnya. Nu­nung masih menghadapi kendala pri­ba­di, masih ada yang mengganggu emo­si­nya dalam pergaulan di lingkungannya. Dia belum bisa lepas sama sekali. Na­mun dalam masa-masa "suram" itu, ter­nya­ta sesekali justru lahir lukisan yang mur­ni intuitif. Lukisan yang sepertinya menerjemahkan kegalauan hatinya.
Belakangan, pada lukisan-lukisan ter­ak­hirnya, kecenderungan itu bergeser men­jadi nampak meriah. Warna-warna kuning menguasai kesan pertama, di­sam­ping merah-merah yang menyala. Meski sebetulnya, kuning itu ternyata me­mang menjadi warna favoritnya. Dan nampaknya, kemeriahan itu mung­kin ada hubungannya dengan suasana ba­tin dirinya yang mulai nampak enjoy menikmati posisinya sebagai pelukis. Sebagai seorang ibu, Nunung sudah me­rasa ringan ketika kedua anaknya te­lah mapan.
Meski begitu, bukan berarti karya-kar­yanya menjadi "tak bicara apa-apa". Lukisan yang dibuatnya dua tiga tahun be­lakangan ini, justru lebih menuju ke arah yang lebih terasa puitis. Memang se­pintas tampak cerah ceria, namun ada se­suatu yang tersimpan di dalamnya. Menurut pengakuannya, dalam lima ta­hun belakangan ini, Nunung suka me­lu­kis di tengah malam. Siapa tahu da­lam keheningan malam itulah naluri dan intuisinya lebih tersalurkan ke da­lam lukisan, dan bukan sekadar bunga-bu­nga yang menyala warnanya.


·         Penulis adalah pemerhati kesenian/June-2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar